Minggu, 20 November 2011 - 15:35:27 WIB
KULTUR MERISTEM TUNAS PISANG AMBON KUNING (Musa paradisiaca L. var. Sapientum) DENGAN PENAMBAHAN H
Diposting oleh : Administrator
Kategori: Jurusan Biologi - Dibaca - : 292995 kali

KULTUR MERISTEM TUNAS PISANG AMBON KUNING

 (Musa paradisiaca L. var. Sapientum) DENGAN PENAMBAHAN HYPONEX PADA MEDIUM SEDERHANA

 

Moralita Chatri, Irma Leilani Eka Putri dan Yetti Murni

Staf Pengajar Jurusan Biologi FMIPA UNP

 

ABSTRACT

 

                Banana (Musa paradisiaca L. ) is one of the most important commodities in Indonesia, bicause it has more advantages and can also increase domestic incomes. A few last years, banana  production had decreased, caused by plant diseases, also culture technical and banana seddling still lowered its quality. On of methode to solution banana seddling problem is in vitro culture. Medium is important for in vitro culture. Using Hyponex fertilizer with simple medium can to change composition of Murahige and Skoog (MS) medium  become chipper. The study of Hyponex concentration has been carried fom October – December 2004 at Balai Benih Induk Laboratory, Lubuk Minturun Padang. A treatment of apex meristem of Ambon Kuning banana (Musa paradisiaca L. var sapientum) was conduction on simple medium with various Hyponex concentration (0,5 g/l, 1 g/l, 1,5 g/, 2 g/l, 2,5 g/l, 3 g/l 3,5 g/l and without Hyponex as control). At an 4-week treatment showed all of explant was grow and an 8-week treatment showed that Hyponex 3 g/l and 3,5 g/l concentration formed the root and shoot the greater.

 

Key word : Musa paradisiaca L. var sapientum, Hyponex, simple medium.

 

PENDAHULUAN

 

Pisang (Musa paradisiaca L.) merupakan tanaman asli Indonesia. Cara penanaman yang mudah serta syarat lingkungan tumbuh pada iklim tropis yang sesuai menyebabkan banyak jenis pisang dapat tumbuh subur di Indonesia (Subakti dan Suprianto, 1993). Tanaman pisang yang dibudidayakan secara intensif dengan penerapan teknologi yang benar dapat memberikan keuntungan yang tinggi dan mampu bersaing dengan tanaman lain. Apalagi saat ini pisang sudah memasuki jajaran komoditas ekspor non migas yang dapat memberikan devisa negara yang cukup tinggi. Oleh karena itu, pengembangan tanaman pisang perlu mendapat prioritas (Cahyono, 1995)

    Banyak jenis tanaman pisang di Indonesia yang telah dibudidayakan oleh masyarakat, akan tetapi tidak semua jenis tanaman pisang mempunyai nilai komersial yang tinggi Cahyono (1995). Salah satu jenis tanaman pisang yang mempunyai potensi yang tinggi dan berpeluang untuk dikembangkan adalah pisang ambon kuning (Musa paradisiaca L. var. sapientum) (Satuhu dan Supriadi, 1990).

Ciri-ciri dan sifat pisang ambon kuning antara lain adalah daging buah yang lembut dan bercita rasa tinggi, tidak berair, aroma yang khas, penampakan kulit yang bagus dan nilai estetika yang tinggi sebagai buah meja. Pisang ini mengandung kadar karbohidrat yang lebih tinggi dari pisang kepok atau pisang lainnya.  Kadar karbohidarat pisang ambon kuning ini adalah 22,05 %, sedangkan pisang kepok dan pisang mas masing-masing 20,53 % an 21,30 % (Satuhu dan Supriadi, 1990).

Pisang  ini merupakan salah satu jenis pisang yang dikonsumsi dalam bentuk buah segar. Selain dikonsumsi segar sebagai buah meja, pisang ambon kuning ini juga bisa dibuat menjadi tepung pisang. Tepung pisang ini mengandung vitamin A dan C, protein, lemak dan garam nineral lainnya. Selain itu, pisang ini juga dapat dibuat menjadi anggur pisang. Bahan baku untuk membuat anggur pisang adalah buah pisang yang beraroma kuat dan pisang ini adalah pisang yang termasuk jenis pisang yang beraroma kuat. Keunggulan lain dari pisang ambon kuning ini adalah ukuran buah yang lebih besar dan mempunyai sisir/tandan sekitar 10 sisir. Pisang ini hanya mempunyai 2-3 tunas dari satu induk. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu cara yang tepat untuk meningkatkan produktifitasnya (Satuhu dan Supriadi, 1990).

Rata-rata produksi pisang dari Sumatera Barat dari tahun ke tahun selalu menurun. Pada tahun 1999 produksi pisang mencapai 76.544 ton/ha, tahun 2000 turun menjadi 59.549 ton/ha, tahun 2001 turun lagi  menjadi 49.278 ton/ha. Pada tahun 2002 produksi pisang manjadi 35.194 ton/ha dan pada tahun 2003 produksi pisang hanya mencapai 32.244 ton/ha dengan luas panen 2.138,38 ha. Hal ini disebabkan karena tanaman pisang banyak terkena penyakit (Anonimous, 1003). Selain itu, rendahnya produksi pisang dipengaruhi oleh teknik budidaya pisang dan kualitas bibit pisang yang digunakan.

Ketersediaan bibit pisang bermutu merupakan syarat utama agribisnis pisang, disamping aspek budidaya maupun penanganan pra dan pasca panen yang baik (Purnomo, 1996). Sampai saat ini pembibitan tanaman pisang yang diakui paling mutakhir adalah perbanyakan in vitro atau kultur jaringan melalui kultur meristem, dimana teknik ini telah dilakukan secara besar-besaran oleh produsen-produsen bibit pisang di Indonesia (Sutanto, 1996).

Teknik kultur in vitro merupakan alternatif untuk menghasilkan bibit pisang yang bermutu dalam jumlah banyak, seragam dan dalam waktu singkat (Meldia, dkk, 1996). Chadijah dan Rukmana (1997) telah melakukan perbanyakan terhadap beberapa jenis tanaman pisang di Indonesia dan menggunakan meristem tunas sebagai sumber eksplan. Jenis pisang yang berhasil menjadi planlet hanya jenis pisang kepok dan pisang Cavendis, sedangkan pisang ambon kuning  belum berhasil dikembangkan.

Perbanyakan tanaman dengan teknik kultur in vitro memiliki banyak kelebihan, yaitu tanaman dapat diperbanyak setiap saat tanpa tergantung musim, daya multiplikasi yang tinggi dan membutuhkan ruang yang relatif kecil untuk menyimpan tanaman (Wiendi, dkk, 1995). Penelitian tanaman pisang dengan teknik ini yang telah dilaporkan antara dari dengan kultur meristem sebagai eksplan untuk pembentukan tunas adventif (Djoni dan Soepardi, 1998).

    Pada perbanyakan tanaman secara in vitro, hal yang penting untuk diperhatikan adalah media tumbuh. Media tumbuh untuk masing-masing tanaman berbeda-beda komposisinya, tetapi pada dasarnya terdiri dari media dasar anorganik (unsur hara makro dan  mikro), zat pengatur tumbuh, senyawa organik, gula dan bahan tambahan beserta bahan pemadat (Purnomo, 1996).

Penelitian-penelitian kultur in vitro telah mengarah ke efesiensi biaya, dimana telah dicoba untuk mengganti bahan penyusun media dengan bahan-bahan lain yang lebih murah, yaitu mengganti bahan kimia penyusun medium Murashige dan Skoog (MS), sukrosa dan bacto agar dengan pupuk majemuk seperti Hyponex, gula dan agar-agar swallow (Sutanto, 1996). Gula dan agar  merupakan komponen-komponen penyusun dari medium sederhana yang digunakan untuk tumbuh suatu eksplan yang sudah disterilisasi. Media sederhana ini harganya cukup  murah dan terjangkau di kalangan masyarakat (Purnomo, 1996). Komponen-komponen penyusun media sederhana ini adalah gula putih, agar dan aquades (Supriadi, 2003).

Menurut Gunawan (1995), pemberian pupuk melalui media sangat efektif dan efisien untuk tanaman pisang dengan cara kultur jaringan. Saat ini banyak sekali pupuk yang beredar di pasaran, salah satunya pupuk majemuk Hyponex hijau. Berdasarkan hasil penelitian Salwita (1997), penggunaan pupuk Hyponex pada konsentrasi 200 ppm atau 0,2 gr/l memberikan hasil terbaik terhadap pembentukan dan perbanyakan tunas anggrek. Sementara itu, Supriadi (2003) melakukan kultur jaringan  tanaman kentang dengan menambahkan pupuk Hyponex  1-3 g/l pada medium sederhana dan dapat menghasilkan pembentukan serta perbanyakan tunas. 

Mengingat pentingnya bibit untuk tanaman pisang ambon kuning ini dan belum adanya laporan tentang penggunanan Hyponex pada perbanyakan pisang ambon dengan teknik kultur in vitro, maka telah dilakukan penelitian tentang pengaruh penambahan Hyponex pada medium sederhana terhadap pertumbuhan meristem tunas pisang ambon kuning (Musa paradisiaca L. var. sapientum). Hasil penelitian diharapkan dapat membantu untuk mengatasi masalah pembibitan pisang, khususnya pisang ambon kuning.

 

METODE PENELITIAN

 

Penelitian ini dilakukan dari bulan Oktober – Desember 2004 di laboratorium Balai Benih Induk Holtikultura Lubuk Minturun Padang.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimen dan data dianalisis secara deskriptif dengan 8 perlakuan dan 10 ulangan. Perlakuan adalah penambahan Hyponex dengan berbagai konsentrasi seperti berikut :0 g/l (kontrol), 0,5 g/l, 1 g/l. 1,5 g/l, 2 g/l, 2,5 g/l, 3 g/l dan 3,5 g/l.

Bahan dan alat yang digunakan adalah anakan pisang ambon kuning yang sehat, yang diperoleh dari lapangan dengan tinggi  ± 40 cm, medium sederhana (agar, gula putih, akuades), NaClO 5,25 % (Bayclin), sukrosa,  deterjen, alkohol 70 %, spiritus,  Hyponex, , HCl 0,1 N, NaOH 0,1 N, aluminium foil, plastik wrap, timbangan analitik, gelas ukur, gelas piala, erlenmeyer, cawan petri, botol kultur, lemari pendingin, pinset, lampu spiritus, scalpel, autoklaf, laminar air flow cabinet (LAFC), sprayer dan batang pengaduk.

Seluruh alat yang digunakan dalam penelitian seperti alat-alat gelas, botol kultur, scalpel, pinset, kertas saring, aluminium foil dan lain-lain disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121° C dengan tekanan 15 lbs selama 15 menit.

Untuk pembuatan satu liter medium sederhana, disediakan gula putih sebanyak 30 g dan agar 6,5 – 7 g. Kemudian cukupkan akuades sampai volume medium menjadi 1 liter. Lalu tambahan Hyponex sesuai dengan perlakuan dan homogenkan dengan magnetik stirer. Setelah homogen, atur pH sampai 5,8 dengan penambahan 0,1 N NaOH atau N HCl.  Kemudian  dimasukkan ke  dalam  botol   kultur ± 10 ml/botol dan ditutup dengan aluminium foil. Selanjutnya medium tersebut disterilkan dalam autoklaf pada temperatur 121° C dengan tekanan 15 lbs selama 20 menit. Medium yang telah steril diinkubasi selama  1 minggu di ruang  kultur.

Untuk penyediaan eksplan dipilih anakan pisang ambon kuning sehat, dengan ciri-ciri bonggolnya berwarna putih bersih. Tanaman yang tidak sehat, bonggol akan terlihat berbercak abu-abu sampai coklat. Anakan pisang yang digunakan adalah yang telah berukuran tinggi 30 – 40 cm. Tunas yang diambil dicuci dengan air mengalir, kemudian disemprot dengan alkohol 70 % untuk mencegah kontaminasi eksternal. Sterilisasi eksplan dilakukan dua tahap, yaitu sterilisasi luar dan dalam LAFC. Eksplan yang telah disterilisasi ditanam dalam botol kultur yang telah berisi medium sederhana dan Hyponex. Pada setiap botol ditanam 1 eksplan. Setelah ditanam, botol ditutup dengan aliminium foil dan kemudian dibalut dengan plastik wrap. Selanjutnya botol kultur yang telah berisi eksplan disusun di rak kultur dan disimpan di ruang gelap untuk menghindari pencoklatan dan mempercepat respon tumbuh.

Pengamatan yang dilakukan adalah jumlah eksplan yang tumbuh setelah 4 minggu tanam, eksplan yang membentuk tunas serta yang membentuk akar 8 minggu setelah tanam. Data dianalisis secara deskiriptif dengan menggunakan rumus persentase.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap pertumbuhan meristem tunas pisang ambon kuning (Musa paradisiaca . var sapientum) yang dikulturkan pada medium sederhana yang ditambah dengan Hyponex dengan berbagai konsentrasi didapatkan hasil seperti Tabel 1 berikut :

 

 

 

 

Tabel 1.  Persentase  eksplan  yang   tumbuh   dari meristem Pisang ambon Kuning  dengan   penambahan  Hyponex pada medium sederhana dengan berbagai konsentrasi setelah 4 minggu tanam

 

Perlakuan

Eksplan yang tumbuh (%)

           A. 0 g/l (kontrol)

100

           B. 0,5 g/l

100

           C. 1 g/l

100

           D. 1,5 g/l

100

           E. 2 g/l

100

           F. 2,5 g/l

100

           G. 3 g/l

100

           H. 3,5 g/l

100

 

Respon awal dari jaringan adalah membesarnya eksplan yang dikultur. Pad awal penanaman, eksplan berwarna putih kehitaman. Terjadi perubahan warna warna eksplan tidak berarti  matinya jaringan, karena jaringan masih menunjukkan pertambahan ukuran. Diduga perubahan warna tersebut disebabkan oleh keluarnya senyawa-senyawa yang berasal dari jaringan yang terluka.

Semua eksplan menunjukan adanya pertumbuhan. Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain karena media tumbuhan yang digunakan, dimana pada medium yang digunakan tersedia nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan eksplan. (Hendaryono dan Wijayani, 1994) menjelaskan bahwa medium tumbuh kultur jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yan dihasilkan.

Medium yang dugunakan pada kultur in vitro ini adalah medium sederhana yang terdiri dari gula putih, agar dan aquades. Gula putih dan agar mengandung unsur hara makro dan unsur hara mikro yang diperlukan untuk pertumbuhan eksplan. Dengan tersedianya nutrisi, maka jaringan eksplan yang dikultur akan memberikan respon tumbuh. Respon tumbuh yang ditunjukkan meristem tunas pisang ambon kuning ini adalah perubahan warna eksplan menjadi hijau setelah 4 minggu, kemudian pembengkakan dan pemanjangan jaringan.

Pertumbuhan eksplan juga dipengaruhi oleh potongan jaringan eksplan yang digunakan serta ukuran eksplan. Pada penelitian ini, jaringan yang digunakan adalah jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, dimana jaringan ini terdiri dari sel-sel yang selalu membelah, dindingnya tipis karena belum terjadi penebalan, plasmanya masih penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Menurut Chadijah dan Rukmana (1997), jaringan meristem adalah jaringan yang aktif membelah, sehingga diperkirakan mempunyai hormon yang mengatur pembelahan sel.

 

 

 

 

Tabel 2.  Persentase  eksplan  yang   membentuk tunas dan  akar   dari meristem Pisang ambon Kuning  dengan   penambahan  Hyponex pada medium sederhana dengan berbagai konsentrasi setelah 8 minggu tanam

Perlakuan

Eksplan yang Membentuk  Tunas (%)

Eksplan yang Membentuk   Akar  (%)

           A. 0 g/l (kontrol)

0

0

           B. 0,5 g/l

0

0

           C. 1 g/l

10

0

           D. 1,5 g/l

30

0

           E. 2 g/l

30

0

           F. 2,5 g/l

40

0

           G. 3 g/l

60

40

           H. 3,5 g/l

60

40

 

Pada Tabel 2, terlihat bahwa pada pemberian Hyponex dengan konsentrasi 3 g/l dan  3,5 g/l menunjukkan pembentukan tunas terbanyak, yaitu 60 %.. Pemberian Hyponex di bawah konsentrasi tersebut pembentukan tunas hanya berkisar 10 – 40 %. Sedangkan tanpa pemberian Hyponex tidak terbentuk tunas sama sekali.

Pembentukan mata tunas muncul dari sisi eksplan setelah 5 minggu tanam dan terbentuk dengan sempurna setelah 8 minggu tanam. Munculnya tunas dari jaringan meristem pisang ambon kuning yang diberi tambahan Hyponex pada medium sederhana karena pembelahan sel-sel meristem menjadi lebih aktif dan dapat berdiferensiasi. Hal ini  karena ditunjang oleh senyawa organik dan an organik yang terdapat pada Hyponex. Lakitan (1995), menjelaskan bahwa suatu tanaman akan tumbuh dengan baik dan subur bila unsur hara yang dibutuhkan tersedia dalam jumlah yang cukup dan berada dalam bentuk yang sesuai, sehingga dapat diserap tanaman. Selain itu, menurut Suseno (1974), unsur Boron juga berperanan penting dalam pembelahan sel pada meristem apikal. Dalam hal ini, Hyponex adalah pupuk majemuk yang  juga mengandung Boron.

Penambahan Hyponex dengan konsentrasi 3 g/l dan 3,5 g/l menghasilkan pembentukan tunas terbanyak. Hal ini diduga zat hara yang terkandung pada konsentrasi tersebut mampu mencukupi untuk pertumbuhan tunas yang terbaik pada penelitian ini. Sesuai dengan pendapat Djafaruddin ( 1970), pertumbuhan tanman ditentukan oleh ketersediaan unsur hara yang cukup, seperti unsur hara makro N, P dan K sebagai komponen pertumbuhan. Dwidjoseputro (1980) berpendapat bahwa unsur N, P dan K yang cukup dapat mendorong pertumbuhan vegetatif tanaman, dimana unsur N merupakan penyusun protoplasma dan protoplasma banyak terdapat dalam jaringan meristem. Selain itu, pertumbuhan tunas juga dipengaruhi oleh perbandingan unsur hara N, P dan K (Sunaryo dan Hadi, 1989).

Pada Tabel 2  dapat juga dilihat bahwa pada pemberian Hyponex dengan konsentrasi 3 g/l dan 4 g/l sudah dapat  terbentuk akar dari eksplan yang dikultur. Pemberian Hyponex di bawah konsentrasi tersebut tidak satupun yang membentuk akar. Tidak terbentuknya akar pada perlakuan tersebut disebabkan karena unsur hara tidak mencukupi untuk pertumbuhan maksimal tanaman yang secara tidak langsung memacu pembentukan akar. Salah satu unsur hara yang berperanan dalam pembentukan akar adalah posfor. Lingga (1986) menyatakan bahwa unsur P yang terkandung pada pupuk majemuk dapat berguna untuk merangsang pertumbuhan akar, terutama tanaman muda. Hal didukung juga oleh pendapat Setyamidjaya (1986), bahwa apababila tanaman kekurangan unsur P dapat mengurangi jumlah akar. Hal ini terlihat bahwa persentase tumbuh akar pada perlakuan G dan H tersebut hanya 40 %, masih jauh dari hasil yang diharapakan. Menurut Sastohoetomo (1968), apabila tanaman kekurangan unsur hara maka jumlah akarnya sedikit, karena unsur hara yang sedikit cendrung akan memperlambat pembentukan akar tanaman. Berarti pemberian konsetrasi Hyponex perlu ditingkatkan untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal.

 

KESIMPULAN

               

Berdasarkan peneleitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan seperti berikut :

1. Penambahan Hyponex pada media sederhana dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan meristem tunas pisang ambon kuning dalam pembentukan tunas dan akar.

2. Peningkatan konsentrasi Hyponex pada media sederhana dapat meningkatkan pertumbuhan meristem tunas pisang ambon kuning terhadap pembentukan tunas dan akar.

 

 

DAFTAR  PUSTAKAN

 

Anonimous. (2003). Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura. Sumatera barat.

Cahyono, B. (1995). Pisang, Budidaya dan Analisis UsahaTtani. Kanisius. Yogjakarta.

Chadijah, N dan R. Rukmana. (1997). Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap Inisiasi, Multiplikasi Tunas Pisang secara In Vitro. Jurnal. Penelitian  Pertanian. Vol. 16.

Djafaruddin. (1970). Pupuk dan Pemupukan. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Padang.

Djoni, M dan G. Soepardi. (1998). Teknik Kultur Jaringan. Pemda TK I. Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Holtikultura II. Sumatera Barat.

Dwidjoseputro, D. (994). Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Gunawan, L.W. (989). Teknik Kultur Jaringan tumbuhan. Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan. Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi. IPB. Bogor.

Hendaryono, DPS dan A. Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan, Pengenalan dan Petunjuk Perbanyakan Tanaman secara Vzegetatif – Modern. Kanisius. Yogjakarta.

Lakitan, B.  (1995). Gasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lingga, P. (1979). Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya. Jakarta.

Meldia, Y.S., A. Sunyoto dan Suprianto. (1996). Pembibitan Tanaman Pisang. Balai Penelitian Tanaman Buah. Solok. Sumatera Barat


Komentar :



Isi Komentar :
Nama :
Website :
Komentar
 
 (Masukkan 6 kode diatas)